Mimpi Kita Menua Bersama

by administratorarmhaipb

MIMPI KITA MENUA BERSAMA

(Ahmad Husein, Ketua 1, ARM HA-IPB)

Sekitar Agustus. 1989. Saya baru pindah dari kos-kosan ‘elite’ di Jalan Riau Bogor ke rumah kontrakan besar di Babakan Raya atau Bara 3,5 (begitu kami menyebutnya mengingat letaknya tepat antara gang Bara 3 dan 4). Saya agak shock, karena bangunan dengan 8 kamar (satu kamar diisi 2 mahasiswa) ini rasanya agak kumuh dan menyeramkan. Saya sebut menyeramkan, karena depan rumah adalah kebun singkong, sementara sisi kanan dan belakangnya adalah jajaran makam dengan tanaman bambu rimbun. Bagaimana tidak bikin merinding, coba?

Di situ pertama kali saya bertemu Mas Bowo, angkatan 24, setahun di atas saya. Meski terdapat satu senior angkatan 23 sebagai penghuni rumah, saya melihat tampuk kepemimpinan aktivitas sehari-hari ada di tangan pria asal Wonosobo, Jawa Tengah ini. Waktu itu saya memandangnya sebagai aktivis yang lincah ke sana ke mari. Tiada hari tanpa rapat, soal perlawanan opspek di Perikanan, soal pembentukan pengajian buat para mahasiswa/mahasiswi di kos-kosan sekitar, tentang jadwal mengaji anggota rumah, dan sebagainya.

Menulis, Mentor, dan Konyol Bersama

Tak butuh waktu lama untuk akrab dengan dia. Saya yang pada dasarnya juga suka aktivitas kemahasiswaan dan keislaman, langsung klik dengan beliau. Dan satu hal lagi yang menyatukan kami: menulis. Mas Bowo piawai sangat dalam bermain kata dan alinea. Gaya tulisannya renyah. Saya suka meledeknya dengan celetukan: “Centil!”. Dia tertawa mesem saja. Sementara tulisan saya sejak awal banyak bermain di narasi dan dan ketajaman deskripsi, sesuatu yang terus terbawa hingga bekerja di media nasional beberapa tahun kemudian.  Yang tak saya sadari –mungkin sebagai wujud kekaguman—lama kelamaan tulisan saya mengikuti gayanya. Tak pelak, ia balik meledek saya: “Centil!” Lalu kami terbahak berdua.

Saya ingat, kami memborong kertas karton berlembar-lembar untuk membuat poster ajakan ke mahasiswa mengikuti seminar keislaman di kampus, atau menyambut hari-hari besar Islam (waktu itu belum ada penggunaan desain grafis dan cetak teknologi tinggi ala sekarang). Boleh dibilang, kami menuangkan kreativitas menulis via poster itu dengan cara konyol.

Bahkan, dalam suatu kesempatan, saya dan Mas Bowo menyelesaikan satu poster Majelis Taklim Al Marjan, Faperikan (sekarang FPIK) yang sudah dicorat-coret warna-warni. Dilengkapi sebaris jargon hasil kesepakatan kami berdua: “PAKULTAS PERIKANAN, PAKULTAS PAPORIT” – merujuk lidah saudara-saudari dari Tanah Sunda yang sulit membedakan huruf ‘ep’ dan ‘pe’. Tiap kali melihat sembunyi-sembunyi bagaimana mahasiswa membaca poster itu sembari ngakak, saya dan dia entah kenapa bangga sendiri.

Kami juga membuat majalah dakwah stensilan lewat KOSMIS (Kelompok Studi Masalah Keislaman). Edwin Aldrianto BDP25 menjadi ketuanya. Saya juru tulis. Mas Bowo contributor utama. Majalah ini terbit sesempatnya, dengan layout seadanya. Bahkan cukup dengan mencetak artikelnya dalam format MS Word, digunting-gunting, lalu ditempel-tempel sesuai bentuk yang diinginkan. Meskipun terkesan ‘tak bermodal’ dan sesukanya, majalah stensilan ini cukup laris di kalangan mahasiswa. Banyak yang penasaran, khususnya (lagi-lagi) kaum hawa, siapa para penulis di belakang artikel-artikel jenaka tersebut.

Dari dia pulalah saya berkenalan dengan dunia ‘bawah tanah’ pergerakan mahasiswa dan ideologi. Pelan tapi pasti, Mas Bowo menjelaskan peta situasi dakwah di Darmaga dan Bogor. Bahkan snapshot politik nasional. Empat tahun di Darmaga, saya belajar mengunyah apa itu dialektika material pembentuk ideologi Komunisme, membaca berlembar-lembar teori “Invisible Hand” ide Adam Smith ketika bicara soal pasar bebas kapitalisme. Tak lupa, konsep pemikiran Islam, yang menjadi hal baru buat saya, tetapi di saat serupa menjadi titik tolak pendewasaan cara berpikir seorang anak muda yang masih mencari jati diri. Mas Nurbowo menjadi mentor utama saya sehari-hari. Kerap berita-berita rahasia terbaru mengenai situasi politik saya terima darinya.

Karena ia juga seperti jangkar bagi kegiatan keislaman yang kita gagas, maka Mas Bowo juga kerap harus berkoordinasi dengan saudari-saudari mahasiswi di lingkungan Darmaga untuk merancang aksi. Kalau saya hitung-hitung, maka sayalah yang paling dipercaya untuk diajaknya sowan ke rumah beberapa akhwat, entah itu minta tanda tangan, menyerahkan poster, undangan, dan lain-lain. Satu dari mereka adalah Mbak Nurbaiti, yang kelak menjadi pendamping beliau. Cuma, ya itu, beliau bicara di teras berdua, saya tiba-tiba sadar, serasa menjadi patung pak polisi yang tak bisa bicara apa-apa. Oh, Mas, kamu cerdik sekali!

Sampai ketika saya lulus, kami terus bersama. Juga saat memutuskan bergabung di Jurnal Halal, LPPOM-MUI (Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia), di bawah bimbingan Profesor Aisjah Girindra sebagai direktur LPPOM waktu itu. Kisahnya unik, karena saat Prof. Aisjah menanyakan apakah kami  bisa melayout contoh (dummy) bakal majalah ini, saya orang yang langsung mengangguk dan meyakinkan beliau. “Baik, Bu. Saya bisa melayoutkan dummy-nya.”  Saat pamitan dari rumah beliau, Mas Iqbal Setyarso (saat itu wartawan Majalah Kartini, pembuka akses pertama kali ke Prof Aisjah) menyikut saya dan bertanya separo cemas.

“Beneran kamu bisa melayout dummy-nya?”

“Nggak, Mas. Saya malah nggak ngerti gimana nge-layout majalah…”

Kami tertawa bersama. Saya buru-buru mampir ke toko buku setelahnya, membeli buku panduan desain dengan program AmiPro, dan belajar kilat penuh cemas dua minggu lamanya, sebelum berhasil menyerahkan contoh disain majalah yang diminta. Draft itu dibawa Prof. Aisjah ke (alm.) KH Hasan Basri, Ketua MUI. Hasil tinjauannya disampaikan Prof. Aisjah langsung ke tim calon pengelola majalah (Mas Nurbowo sebagai Pemred, Mas Iqbal, saya, Wahid, dan Nuim Hidayat).

“Pak Kiai suka disainnya. Kita jadi bikin majalah,” kata Bu Aisjah. Semua mengucap hamdallah.

Saya juga. Campur lemas. Lalu dalam hati berjanji, lain kali takkan berani-beranian mengerjakan sesuatu yang saya sebenarnya tidak tahu.

Saat saya menikah tahun 1995 di Jawa Timur, tiba-tiba saja Mas Nurbowo dan teman-teman Jurnal Halal muncul tepat di pagi hari sebelum acara, dan turut menyaksikan akad nikah tersebut. Mereka jauh-jauh datang untuk melengkapi hari bahagia saya. Lalu dalam sekejap, mereka menghilang, balik lagi ke Bogor, usai acara digelar.

**

Bencana, Jurnalistik, dan Dakwah

Desember 2004. Saya berada di kawasan Lhok Nga, Aceh Besar, seminggu pasca tsunami menghantam daratan Aceh. Selain bertugas sebagai relawan KSBA (Komite Solidaritas Bencana Aceh dan Nias), saya juga punya misi pribadi: mencari keponakan yang hilang saat peristiwa 26 Desember 2004 tersebut.

Telepon masuk. Dari Mas Nurbowo. Ia bergabung dengan tim penyelamat Dompet Dhuafa (DD) dan sedang bertugas di kawasan pantai Ulhee Lheu, satu dari sekian daerah terparah. “Banyak mayat di sini, kita masih bingung mau diapain,” ujarnya dengan suara tercekat. Tak lupa, ia menawarkan bantuan untuk menyebarkan poster Agi, ponakan saya yang hilang itu. Kami saling mendoakan dan menguatkan, lalu balik bekerja. Saya lebih dahulu meninggalkan Banda Aceh setelah lebih dari seminggu berjibaku di sana.

Takdir Allah SWT rupanya menyandingkan saya dengan mas Nurbowo untuk selalu dekat. Dia rupanya paham, saya punya gairah dalam soal peningkatan kapasitas bidang jurnalistik dan komunikasi. Walhasil, entah itu soal promosi produk halal, training jurnalistik, workshop pemasaran sosial, hingga manajemen kebencanaan, ia akan meminta saya mengisi acara buat lembaganya. Dan selalu saya penuhi.

Sekali waktu, saya diundang ke rumahnya di Pondok Miri, Rawa Kalong, Gunung Sindur. Mas Nurbowo minta saya mentraining para pengajar al Quran dan TKA tentang cara berkomunikasi yang baik, sesuai kaidah seorang komunikator yang baik. Saya pun mengiyakan saja. Dari pagi sampai sore, saya menghabiskan waktu di sana, sembari makan siang bareng yang amat nikmat meski dengan menu sederhana.

Hobinya melanglang buana ke daerah-daerah terpencil menyambangi para da’i yang bertugas di sana, amat membuat kita iri. Suatu ketika, ia telepon saya:

“Punya hape bekas? Sini kasi ke saya.”

“Lho ngapain hape bekas, sini saya beliin yang baru. Ojo ngisin-ngisinin,” balas saya.

“Bukan untuk saya, untuk da’i di Mentawai. Kasian nggak punya hape,’ katanya.

Ya Allah, dia lebih memikirkan da’i daripada dirinya sendiri.

Kami pun terus bergiat dan tukar-menukar informasi meski dalam lembaga berbeda di setiap kejadian krisis, entah itu gempa Sumbar, letusan Merapi, gempa Lombok, gempa dan tsunami Palu, dan banyak lagi event lainnya.

Dialah yang amat khawatir saat saya terkena musibah di Lombok. Saat saya bertugas, terjadi rangkaian gempa keempat dan kelima, 19 Agustus 2018. Yang keempat memiliki magnitudo 6,3 terjadi pada pukul 11.10 WIB dengan kedalaman hiposenter 7,9 km. Saya yang tengah di kantor PMI Provinsi NTB, ikut menghambur keluar gedung. Lalu malamnya, gempa dengan magnitudo 7,0 terjadi pada pukul 21.56 WIB dengan kedalaman hiposenter 25 km.

Saya tengah di dalam kamar penginapan, usai kembali dari kantor. Lampu mati akibat goncangan, lalu kami satu penginapan berlari ke luar dalam kondisi gelap gulita. Mengandalkan isting, saya berlari ke arah depan lalu berbelok ke kanan, bermaksud melintasi café, karena lebih aman. Tak dinyana, tangan kiri saya yang meraba dinding dalam gelap, tersabet sebuah benda tajam. Darah bercucuran deras, dan teman-teman melarikan saya ke RS Darurat Kota Mataram. Ada 6 jahitan yang saya terima utk luka sobek menganga di kelingking kiri. Esok paginya, saya diperintahkan kembali ke Jakarta, agar dapat melakukan perawatan lebih saksama. Mas Nurbowo saya kabari soal ini. Dialah yang memposting kabar saya di media sosial tak lama kemudian.

Saya sempat membayangkan, bagaimana kami berdua menua bersama, lalu suatu saat di masa tua itu berbincang hangat mengenai semua tugas dan pekerjaan yang sudah kita lakukan. Alangkah menyenangkannya. Apalagi kemudian membuat buku berdua.

Itu impian yang sempat melintas dalam kepala saya.

Suatu saat lain, pesan WA masuk. Mas Nurbowo mengajak ketemu. Ada apa, tanya saya?

“Yuk bikin inisiatif bantu keluarga temen-temen yang sudah tiada dan butuh dukungan ekonomi.”

Saya tak mungkin tak ikut. Semangat berbuat baiknya amat konsisten. Inisiatif itu Alhamdulillah berlanjut hingga kini.

**

ARM, Jantung, Pulang

Tahun 2019, kami berdua ditantang untuk mendirikan dan mengembangkan sebuah organisasi berbasis relawan di bawah Himpunan Alumni IPB. Saya dan dia punya prinsip sama, selama ini tak mau cawe-cawe urusan alumni. Kami berdua jauh dari hiruk-pikuk dan dinamika himpunan alumni. Namun, ide organisasi berbasis relawan ini cukup brilian. Setidaknya itu yang saya sampaikan ke Mas Nurbowo.

Beliau setuju. Lalu meminta saya yang memimpin. Saya tolak. Alasannya, saya masih lekat dikenal sebagai seorang manajer dari organisasi internasional Palang Merah dan Bulan Sabit Merah, yang amat ketat soal netralitas dan kemandirian. “Nanti akan ada semacam vested interested kalau saya yang mimpin. Nanti jika saya sudah tidak lagi di sana, maka saya akan bisa bantu lebih lapang,” ujar saya. Selain itu, lembaga baru ini butuh role model yang sudah teruji pengalamannya di bidang kebencanaan dan kemanusiaan. Karena pengalaman saya di bidang manajemen organisasi kebencanaan, saya janjikan bahwa semua hal terkait konsep, SOP, kode etik, hingga manajemen sumber daya, bisa dibebankan ke pundak saya.

Deal. Lembaga tersebut yang kemudian diberi nama Aksi Relawan Mandiri Himpunan Alumni IPB (ARM HA-IPB) terbentuk. Belum lagi resmi didirikan, Mas Nurbowo dan saya harus bertugas pertama kali ke wilayah kebakaran hutan dan asap di Riau. Misi pertama kami sukses. Itu tak lepas dari jaringan kawan-kawan NGO lokal yang beliau kontak untuk membantu ARM. Mas Nurbowo lalu terbang ke Ambon membawa amanah bantuan untuk korban gempa.

Sakit jantungnya tak melemahkan semangat. Sahabat-sahabatnya rajin mengingatkan bahkan mengirim berbagai obat untuknya. Kepada hampir setiap orang, ia selalu menjawab seolah tak serius. “Kalau udah ajal sih, ya mati…” Namun kepada saya, bila bicara tentang kesehatan, Mas Nurbowo tidak pernah mengucapkan jawaban tersebut. Hanya kata iya, baiklah, dan sejenisnya yang akan jadi responnya ke saya.

Dan demikianlah. Walaupun dengan situasi pandemi, kami tetap bergiat. Saat ia safari dakwah, dua hari sebelum Allah memanggilnya, ia sempat berkirim WA kepada saya dan Emy soal perlunya bertemu dengan seluruh tim ARM akhir tahun. Saya bilang bahwa ia perlu memberi wejangan untuk langkah kita 2021.

“Siiaap, cuma kalo Zooming itu, selain gaptek, juga nggak mantep ya?” komentarnya.

Saya timpali, apakah mau off-line? Dia menjawab sejurus kemudian: “Outdoor dan kudu tertib Prokes.”

Hingga tiba-tiba kabar itu datang. Ia berpulang dalam perjalanan menuju Padang, di kawasan Pesisir Selatan, setelah dibawa ke Puskesmas Inderapura, Kecamatan Pancung Soal, hari Rabu 2 Desember 2020 dinihari, pukul 01.10 WIB.

Saya membaca pesan kepergiannya tepat ketika melangkah keluar pagar rumah menuju mesjid untuk solat Subuh. Tangan saya serasa membeku dan reflek beristighfar. Kemudian air mata mengalir tak tertahan. Selebihnya, saya hanya termenung membaca ratusan pesan dan postingan masuk menyatakan bela sungkawa, berikut pengalaman baik mengenai betapa baiknya hidup Mas Nurbowo. Serta berapa banyak orang cemburu ia menemui Rabb-nya dengan cara yang ia pilih sendiri: dalam pekerjaan yang ia cintai.

Saya diam seharian itu. Tak kuasa menulis. Saya paksakan menyusun dengan susah payah rilis resmi statemen ARM mengenai berpulangnya beliau. Hingga sore hari; saya dan puluhan rekan sudah hadir di kediamannya, menanti ia pulang.

Dan malam itu, Mas Nurbowo akhirnya pulang. Yang menangis bukan hanya keluarga. Rekan-rekan da’i, kawan-kawan jurnalis, rekan-rekan dunia kemanusiaan, semua terisak.

Malam kemarin, saya menyaksikan bukti betapa ada sosok yang sederhana, yang dicintai banyak orang.

Lalu saya teringat impian saya bersama Mas Nurbowo. Kami ditakdirkan terus bersama selama 31 tahun. Dalam Islam, dalam respon bencana dan kemanusiaan, dalam gairah jurnalistik.

Namun Allah tak menakdirkan kami menua bersama.

Mas, kamu menang. Kamu menghadap-Nya lebih dahulu. Sementara jasa dan kebaikanmu menjuntai panjang tak putus-putus mengikuti ruh-mu. Dari alam dunia ini hingga akhirat kelak.

Betapa kami kehilangan. Sangat.

Allahummaghfir lahu warhamhu, wa’afihi wa’fu ‘anhu.

(Bogor, 3 Desember 2020)

#MengenangKetumARM

You may also like

Leave a Comment