PERTANIAN DAN BENCANA ALAM: IPB BISA APA?

by ahmad latip

Ahmad Husein – Aksi Relawan Mandiri Himpunan Alumni IPB (ARM HA-IPB)

Soal bencana alam, Indonesia memang bak super market. Wilayah Indonesia tepat berada pada cincin api (ring of fire) yakni pertemuan tiga lempeng tektonik besar yaitu Indo-Australia, Eurasia, dan Pasifik. Tabrakan antar lempeng tektonik tersebut membentuk jalur gempa dengan ribuan titik pusat gempa yang menjadikan Indonesia sangat rawan gempa bumi. Selain itu, Wilayah Indonesia memiliki sabuk vulkanik sepanjang 7.000 km dari Pulau Sumatra, Jawa, Bali, NTB, serta NTT. Kita punya 129 gunung berapi aktif (70 di antaranya sangat aktif) serta 500 gunung tidak aktif. Gunung berapi aktif di Indonesia merupakan 13 % dari seluruh gunung berapi aktif di dunia. Belum lagi wilayah pantai Indonesia sepanjang 81.000 km dengan pemukiman padat merupakan wilayah dengan kerentanan dan berisiko terhadap bencana tsunami dan gelombang pasang.

Tak heran, berdasarkan data BNPB di akhir tahun 2018, total kejadian bencana yang terjadi di Indonesia mencapai 2.564 bencana. Seluruh bencana itu menyebabkan 3.349 orang meninggal, 1.432 orang hilang, 21.064 orang luka-luka, 10,2 juta orang mengungsi dan terdampak, dan 319.527 unit rumah rusak. Banjir, longsor, dan puting beliung masih tetap mendominasi bencana yang terjadi di berbagai daerah, diikuti bencana-bencana geologi seperti gempa bumi dan tsunami.

Kerugian lain yang muncul akibat bencana tak terelakkan juga menimpa sektor pertanian (dalam arti luas). Dalam laporan anyar Oganisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO) tahun 2018 lalu terungkap bahwa antara tahun 2005 hingga 2015, bencana alam merugikan sektor pertanian di negara berkembang sebesar 96 miliar dolar AS atau Rp1.320 triliun, mayoritas akibat kegagalan panen dan kematian hewan ternak. Separuh dari kerugian tersebut – yakni 48 miliar dolar AS atau Rp660 triliun– terjadi dan dialami oleh para petani di Asia, termasuk Indonesia. Khusus untuk bencana kekeringan di seluruh dunia, ini memicu kerugian terbesar. Sebanyak 83% kerugian dari bencana kekeringan ditanggung oleh sektor pertanian dengan nilai kerugian mencapai $29 miliar atau Rp399 triliun.

Padahal, dari total 7 milyar penduduk dunia, 2,5 miliar di antaranya bermata pencaharian di sektor pertanian. Para petani, nelayan, peternak kecil menghasilkan lebih dari separuh produksi pertanian dunia. Mereka kebanyakan adalah kelompok miskin dan tidak memiliki aset pertanian sehingga sangat rentan apabila terjadi bencana yang merusak atau menghancurkan panen, peralatan, bibit, ternak, tanaman dan simpanan pangan mereka. Untuk itu dunia harus bersatu padu melakukan mitigasi bencana.

Di dalam negeri, data itu sejalan dengan apa yang terjadi di hampir setiap bencana alam. Sawah rusak akibat dihantam banjir, tsunami, atau kekeringan. Ternak dan budidaya ikan musnah. Petani, peternak, petambak menganggur. Produktivitas pertanian turun drastis, sebagaimana pernah dilaporkan Kompas tahun 2010 silam.

Dalam kasus Tsunami Aceh, misalnya, saya pernah berbincang dengan kaum lelaki di kawasan Lhoong, Aceh Besar, di lintasan menuju Calang, Aceh Jaya, 10 tahun silam. Puluhan dari mereka yang aslinya adalah nelayan terpaksa direlokasi menjauh dari pesisir, sekitar satu kilometer dari bibir pantai. Kebiasaan sehari-hari pun tercerabut. Mau melaut, perahu tak ada lagi. Sementara mau bertani, mereka tak punya pengetahuan dan keterampilan sama sekali. Walhasil, mereka memilih ikut menjadi buruh kapal penangkap ikan yang sesekali mampir di pelabuhan. Demi sesuap nasi.

Di Lombok, Pasigala (Palu, Sigi, Donggala), dan Selat Sunda, kejadiannya setali tiga uang. Sawah dan ternak musnah, kebun tak bisa dikelola lagi, dan melaut terhenti karena perahu tak ada lagi. Setahun berlalu, kondisi mata pencaharian warga belum dapat dikatakan pulih.

Berbeda dengan Jepang, misalnya, yang jauh lebih baik. Dalam kasus lahar dingin akibat letusan gunung berapi, mereka membangun sistem pembuangan lahar dingin melalui jalur khusus langsung dibuang ke laut sehingga tidak merugikan masyarakat. Di Indonesia, jangankan soal jalur, sistem deteksi dini pun belum optimal. Kompas menyebut –mengutip Dekan FEMA IPB waktu itu, Arif Satria (sekarang Rektor IPB). Andai ada mekanisme deteksi dini dan petunjuk pelaksanaan yang jelas dalam evakuasi ternak, seperti sapi dan kambing di Merapi, kematian 3.000 sapi bisa dihindarkan.

Intervensi IPB saat dan pasca-bencana

Bicara jiwa kedermawanan, orang Indonesia tak bisa diremehkan. Bahkan Indonesia menempati posisi puncak Charities Aid Foundation (CAF) World Giving Index 2018 dengan skor 59 persen, naik satu peringkat menduduki posisi teratas dibandingkan tahun 2017 yang hanya di posisi kedua di bawah Myanmar. Laporan CAF World Giving Index 2018, A Global View of Giving Trends, yang dipublikasikan pada Oktober 2018, menyebut skor masyarakat Indonesia untuk membantu orang lain sebesar 46 persen, berdonasi materi 78 persen, dan melakukan kegiatan sukarelawan 53 persen.

Apa kaitannya dengan IPB? Sangat penting. Meskipun belum ada penelitiannya, civitas akademika IPB termasuk alumninya dipercaya punya rasa kepedulian yang tinggi terhadap peristiwa bencana di berbagai wilayah. Pengumpulan dana dan pengiriman bantuan kerap dilakukan. Cukupkah?

Jawabnya, belum. IPB rasanya memerlukan desain besar untuk merumuskan intervensinya dalam situasi tanggap darurat, pasca-bencana, dan pencegahan serta kesiapsiagaan bencana di Indonesia. Namun IPB sudah memulainya di trek yang benar, antara lain dengan keberadaan PSB (Pusat Studi Bencana) LPPM-IPB. Sesuai misinya PSB menyasar pada kajian dan penelitian mengenai efektivitas pencegahan, tanggap darurat bencana, serta rehabilitasi dan rekonstruksi, plus peningkatan kapasitas berbagai pemangku kepentingan.

Himpunan Alumni IPB (HA-IPB) sendiri juga telah memulai hal yang sedikit lebih konkret sebagai prakarsa, yakni saat gempa Lombok dan Palu tahun lalu. Alih-alih hanya menyerahkan bantuan, HA-IPB menugaskan alumninya dari Bogor untuk bekerja sama dengan alumni setempat membantu warga menata ulang hidup mereka, khususnya untuk bidang pertanian, di Desa Salut, Kecamatan Kayangan, Kabupaten Lombok Utara.

HA-IPB menggandeng LPPM-IPB yang berupaya membantu masyarakat setempat dalam mengolah dan menanam tanaman gizi dan obat sebagai jawaban terhadap tingginya kebutuhan gizi dan Obat bagi kesehatan masyarakat. Rektor IPB sendiri telah menetapkan Desa Salut sebagai Desa Mitra, Stasiun Lapang Agro Kreatif sehingga IPB akan tetap di desa tersebut dalam jangka waktu yang lama. Namun IPB belum dapat membantu banyak dalam bidang peternakan, misalnya. Padahal Bappenas menyebut bahwa sektor peternakan dapat menopang pemulihan ekonomi NTB pasca-gempa.

Terobosan terbaru HA-IPB adalah pembentukan badan otonom kemanusiaan yang kelak diberi nama Aksi Relawan Mandiri (ARM). Badan ini diproyeksikan memiliki tim tanggap darurat bencana yang mumpuni yang mampu terjun saat tanggap darurat dan bekerja sama dengan para pemain kunci di bidang kemanusiaan lainnya (BNPB, PMI, Baznas, LSM). Tim ARM, misalnya, telah terjun di misi kemanusiaan SAMBAR (Aksi Alumni IPB untuk Bencana Asap Riau) September lalu, dan misi SALIGA (Solidaritas Alumni IPB untuk Gempa Ambon) Oktober ini. ARM mulai merekrut relawan-relawannya melalui pelatihan perdana dasar-dasar manajemen bencana, yang sangat mengejutkan diikuti 56 peserta dari 25 yang ditargetkan. ARM akan menggelar seri kedua pelatihan yakni “First Aid for Non-Medic Personnel” awal November yang akan datang.

Selain itu, ARM diproyeksikan pula untuk menyiapkan program di fase rehabilitasi, pemulihan, dan rekonstruksi, di bidang pertanian yang memang menjadi kompetensi IPB. Program semacam pengungsian ternak, pemulihan mata pencaharian rakyat di bidang pertanian, perkebunan, perikanan budidaya, dan agribisnis, serta penyuluhan kesiapsiagaan bencana, akan dirancang dalam waktu dekat. Dalam praktiknya, kegiatan ini akan bekerja sama dengan berbagai unit di lingkungan IPB yang terkait dan mitra-mitra luar yang berminat mendukung kegiatan tersebut.

Harapannya, IPB di masa depan dapat menyalurkan semangat kedermawanannya secara lebih konstruktif dan masif, salah satunya melalui pendayagunaan ARM. Semoga.

You may also like

Leave a Comment