Gadis cilik itu bernama Wahyuni. Hitam manis, berambut poni yang menjuntai hampir menutupi kedua matanya.
Saat gempa M 6,2, Jumat dini hari (15/1), Wahyuni terperangkap di rumahnya yang ambruk. Hanya ujung kakinya yang terlihat dari luar, sementara seluruh tubuh mungilnya tertimpa tembok. Sang ayah berpikir ia telah wafat. Maka dengan hati hancur, ia tinggalkan jasad Wahyuni untuk menolong kakak dan adik si bocah yang masih selamat. Sang ibu juga terluka.
Setelah tiga saudara kandung Wahyuni diselamatkan, Nur Alam sang ayah, yang juga Sekdes Desa Botteng Utara, Simboro, Mamuju, kembali ke reruntuhan tempat Wahyuni tergeletak. Masih sama, hanya tampak ujung kakinya menjulur ke luar bangunan. Satu per satu puing runtuhan tembok rumah sang ayah singkirkan, meski dalam kondisi gelap.
Lalu tubuh Wahyuni ditemukan. Tangis sang ayah pecah, duka mendalam kehilangan putri ketiganya.
Allah Mahakuasa. Sekian detik berselang, wajah diam Wahyuni tiba-tiba menegang, matanya terbuka, melotot, dan nafas muncul terengah-engah. Allahu Akbar. Dia masih selamat, dengan dada penuh luka. Hingga hari ini Wahyuni hidup dengan aura trauma di tenda pengungsian Botteng Utara bersama ayah-bundanya. Ia masih sukar bertemu dengan orang luar. Mulutnya terkunci rapat, belum hendak bicara apa-apa.
Tim Aksi Relawan Mandiri Himpunan Alumni IPB (ARM HA-IPB) Insya Allah akan menjangkau Desa Botteng Utara, Sabtu (30/1) akhir pekan ini, membawa 1.000 paket beragam jenis bantuan. Di antaranya ada 200 bingkisan untuk kanak-kanak, sebagai hiburan buat mereka yang masih lugu tetapi harus tegar bertahan di tenda-tenda pengungsian. Mungkin kami tak bisa banyak berbuat menyembuhkan trauma mereka. Namun, siapa tahu kehadiran ARM bisa memunculkan senyum harapan warga.
(berdasarkan laporan dan kisah Bpk Sunaryo Adhiatmoko, relawan Desa Quran, di lokasi kepada ARM HA-IPB)
Foto: Obay Minoral